Kamis, 08 September 2016

TENTANG UDHIYAH

Bagi yang membeli hewan udhiyah, kemudian di tengah jalan terjatuh atau mengalami cacat, maka hewan itu tetap disembelih. Tidak ada dosa atas hal ini karena pemiliknya tidak melampaui batas (tidak sengaja). Ini termasuk udzur dalam syariat.
Dibolehkan membeli hewan udhiyah dengan berhutang ketika diyakini mampu untuk dilunasi. Jika hutangnya sudah terlampau banyak –di samping hutang untuk berudhiyah—, maka lebih didahulukan untuk melunasi hutang untuk menghindari tanggungan.
Diperbolehkan berudhiyah untuk orang lain yang tidak mampu berkurban, tetapi harus seizinnya, Jika orang lain ini mampu, maka kewajiban berkurban dibebankan kepadanya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membagikan hewan-hewan udhiyah kepada para sahabatnya, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari. Ini merupakan dalil bahwa orang kaya bisa membagi hewan-hewan udhiyah kepada fakir miskin agar mereka bisa berudhiyah.
Lebih utama adalah berudhiyah dengan hewan yang paling gemuk, paling mahal harganya, dan paling disukai, dan paling banyak dicari untuk dijadikan hewan udhiyah.
Sapi dan unta bisa untuk 7 orang atau lebih kurang dari itu. Jika lebih dari 7, maka tidak diperbolehkan. Hadits yang menerangkan hal ini shahih.
Diperbolehkan mengikutsertakan seseorang yang menginginkan daging untuk ikut patungan dalam menyembelih sapi atau unta.
Orang yang berudhiyah tidak boleh menjual kulit hewan udhiyah. Hal ini karena udhiyah tujuannya adalah memberikan seluruh bagian hewan karena Allah. Apa yang ditujukan karena Allah, maka tidak dibolehkan untuk mengambil bagian darinya. Oleh karenanya, penyembelih hewan juga tidak diberikan sesuatu dari hewan udhiyah itu sebagai upah.
Diriwayatkan dari Imam Bukhari dan Muslim dan lafazh hadits berikut ini adalah miliknya dari ‘Ali radhiyallâhu ‘anu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta kurban beliau, memerintahkan mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin), serta memerintahkanku untuk tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan kurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.” (HR. Muslim no. 1317)
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar (5/153) mengatakan, “Mereka bersepakat bahwa dagingnya tidak dijual, begitu juga dengan kulitnya. Adapun Al Auza’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan satu pendapat dari kalangan Syafi’iyah. Mereka berkata, “Alokasi nilainy itu sebagaimana pengalokasian hewan udhiyah.”
Diperbolehkan mensedekahkan kulit kepada orang fakir atau dihadiahkan kepada siapa pun.
Seorang fakir boleh untuk menjual daging udhiyah yang ia terima.
Diperbolehkan memberikannya ke yayasan sosial seperti halnya dialokasikan kepada orang-orang fakir. Akan tetapi yang lebih utama adalah seseorang menyembelih sendiri, kemudian membagikannya. Hal ini untuk menampakkan syiar dari maksud udhiyah itu sendiri, yaitu untuk beribadah kepada Allah ta’ala.
Orang yang menyembelih mengucapkan, ALLAAHUMMA HADZA ‘ANNI WA ‘AN AHLI BAITI “Ya Allah ini (hewan sembelihan) dariku dan dari keluargaku.” Sebagaimana riwayat yang tsabit dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak boleh menggabungkan antara nadzar dan udhiyah. Hal ini karena hukum keduanya berbeda satu sama lain. Masalah nadzar lebih ketat hukumnya daripada yang lainnya, karena manusia mewajibkan sesuatu atas dirinya sendiri, bukan Allah yang mewajibkan kepadanya.
Satu hewan udhiyah cukup untuk satu keluarga berapapun jumlahnya.
Seorang suami yang punya dua istri atau lebih, satu hewan udhiyah cukup untuk semuanya. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berudhiyah untuk seluruh istrinya.

Jika ada anak yatim atau keponakannya, dan mereka itu makan minum bersama dalam satu rumah, maka satu kurban sudah cukup untuk semuanya.

Tidak ada komentar: