Bagi
yang membeli hewan udhiyah, kemudian di tengah jalan terjatuh atau mengalami
cacat, maka hewan itu tetap disembelih. Tidak ada dosa atas hal ini karena
pemiliknya tidak melampaui batas (tidak sengaja). Ini termasuk udzur dalam
syariat.
Dibolehkan
membeli hewan udhiyah dengan berhutang ketika diyakini mampu untuk dilunasi.
Jika hutangnya sudah terlampau banyak –di samping hutang untuk berudhiyah—,
maka lebih didahulukan untuk melunasi hutang untuk menghindari tanggungan.
Diperbolehkan
berudhiyah untuk orang lain yang tidak mampu berkurban, tetapi harus seizinnya,
Jika orang lain ini mampu, maka kewajiban berkurban dibebankan kepadanya.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membagikan hewan-hewan udhiyah kepada para
sahabatnya, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari. Ini merupakan dalil
bahwa orang kaya bisa membagi hewan-hewan udhiyah kepada fakir miskin agar
mereka bisa berudhiyah.
Lebih
utama adalah berudhiyah dengan hewan yang paling gemuk, paling mahal harganya,
dan paling disukai, dan paling banyak dicari untuk dijadikan hewan udhiyah.
Sapi
dan unta bisa untuk 7 orang atau lebih kurang dari itu. Jika lebih dari 7, maka
tidak diperbolehkan. Hadits yang menerangkan hal ini shahih.
Diperbolehkan
mengikutsertakan seseorang yang menginginkan daging untuk ikut patungan dalam
menyembelih sapi atau unta.
Orang
yang berudhiyah tidak boleh menjual kulit hewan udhiyah. Hal ini karena udhiyah
tujuannya adalah memberikan seluruh bagian hewan karena Allah. Apa yang
ditujukan karena Allah, maka tidak dibolehkan untuk mengambil bagian darinya.
Oleh karenanya, penyembelih hewan juga tidak diberikan sesuatu dari hewan
udhiyah itu sebagai upah.
Diriwayatkan
dari Imam Bukhari dan Muslim dan lafazh hadits berikut ini adalah miliknya dari
‘Ali radhiyallâhu ‘anu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta kurban beliau, memerintahkan
mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung
unta untuk melindungi dari dingin), serta memerintahkanku untuk tidak memberi
sesuatu pun dari hasil sembelihan kurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda,
“Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.” (HR.
Muslim no. 1317)
Imam
Asy Syaukani dalam Nailul Authar (5/153) mengatakan, “Mereka bersepakat bahwa
dagingnya tidak dijual, begitu juga dengan kulitnya. Adapun Al Auza’i, Ahmad,
Ishaq, Abu Tsaur, dan satu pendapat dari kalangan Syafi’iyah. Mereka berkata,
“Alokasi nilainy itu sebagaimana pengalokasian hewan udhiyah.”
Diperbolehkan
mensedekahkan kulit kepada orang fakir atau dihadiahkan kepada siapa pun.
Seorang
fakir boleh untuk menjual daging udhiyah yang ia terima.
Diperbolehkan
memberikannya ke yayasan sosial seperti halnya dialokasikan kepada orang-orang
fakir. Akan tetapi yang lebih utama adalah seseorang menyembelih sendiri,
kemudian membagikannya. Hal ini untuk menampakkan syiar dari maksud udhiyah itu
sendiri, yaitu untuk beribadah kepada Allah ta’ala.
Orang
yang menyembelih mengucapkan, ALLAAHUMMA
HADZA ‘ANNI WA ‘AN AHLI BAITI “Ya Allah ini (hewan sembelihan) dariku dan
dari keluargaku.” Sebagaimana riwayat yang tsabit dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Tidak
boleh menggabungkan antara nadzar dan udhiyah. Hal ini karena hukum keduanya
berbeda satu sama lain. Masalah nadzar lebih ketat hukumnya daripada yang
lainnya, karena manusia mewajibkan sesuatu atas dirinya sendiri, bukan Allah
yang mewajibkan kepadanya.
Satu
hewan udhiyah cukup untuk satu keluarga berapapun jumlahnya.
Seorang
suami yang punya dua istri atau lebih, satu hewan udhiyah cukup untuk semuanya.
Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berudhiyah
untuk seluruh istrinya.
Jika
ada anak yatim atau keponakannya, dan mereka itu makan minum bersama dalam satu
rumah, maka satu kurban sudah cukup untuk semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar