Senin, 15 Agustus 2011

TUNTUNAN MENGOBATI KEJAHATAN SANTET SECARA ISLAM

Bagaimanakah hukumnya meruqyah (mengobati) orang yang sakit dengan cara membacakan do'a dan ayat Al-Qur'an yang kemudian meniupkan ke dalam gelas yang berisi air untuk diminumkan kepada si sakit?
 
Hal ini tidak mengapa dilakukan, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa hal ini hukumnya mustahabbah (disunnahkan). Dan penjelasan mengenai hukum ini dapat dipaparkan melalui nash-nash hadits dan ucapan para ulama muhaqqiqun sebagai berikut.
 
Al-Bukhari mengatakan dalam kitab Shahih-nya di bab Tentang Meniup dalam Membacakan Ruqyah. Beliau menuliskan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda, "Apabila salah seorang dari kalian bermimpi yang tidak ia sukai maka hendaklah ia meniup seraya meludah pada saat ia bangun sebanyak tiga kali, dan berta'awudz/memohon perlindungan Allah dari kejelekan mimpinya, maka mimpi itu tidak akan membahayakannya."
 
Lalu beliau juga menuliskan hadits Aisyah, "Bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wassalam apabila kembali ke tempat tidurnya beliau meniup kepada kedua telapak tangannya setelah membaca, "Qulhuwallahu ahad (surat Al-Ikhlas) dan muawwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Naas) secara keseluruhan, kemudian beliau mengusap kedua telapak tangan beliau serta anggota tubuh yang dapat dijangkau oleh kedua telapak tangan tersebut."
 
Dan diriwayatkan pula hadits oleh Abu Sa'id tentang ruqyah dengan membaca surat AL-Fatihah sebagiamana riwayat Imam Muslim, "Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wassalam membaca Ummu Qur'an (Al-Fatihah), lalu mengumpulkan ludahnya lalu meludah, maka laki-laki itu kemudian menjadi sembuh."
 
Al-Bukhari juga menyebutkan dari Aisyah bahwa Rasulullah pernah membaca dalam ruqyah sebagai berikut,
 
"Bismillahi turbatu ardhina biriqati ba'dhina yusfaa saqiimuna biidzni Rabbina (Dengan Nama Allah, tanah bumi kami dan ludah sebagian kami, sembuhkanlah sakit dengan izin Tuhan kami)."
 
An-Nawawi mengatakan, "Hadits ini menunjukkan disunnahkannya meniup dalam membaca ruqyah, dan para ulama telah berijma' mengenai kebolehannya dan jumhur shahabat dan tabi'in serta generasi sesudah mereka juga telah memandangnya sebagai hal yang mustahabbah."
 
Diriwatakan pula dari Imam Ahmad bahwa beliau ditanya tentang seseorang yang menuliskan ayat Al-Qur'an lalu memasukkannya ke dalam bejana air kemudian meminumkannya kepada si sakit. Imam Ahmad menjawab, "Hal tersebut tidak mengapa dilakukan" Bahkan Shaleh (salah seorang putra beliau) berkata, "Terkadang aku sakit, lalu ayahku mengambil air lalu kemudian membaca sesuatu, lalu ia menyuruhku untuk meminumnya dan membasuh wajah dan kedua tanganku." Dan apa yang telah kami jelaskan, kiranya sudah cukup menghilangkan kebingungan kita terhadap apa yang banyak dilakukan orang di zaman sekarang.
[Sumber : Fatwa-Fatwa Muslimah, hal. 103-104, Darul Falah]

Tindakan Preventif , yakni usaha menjauhkan diri dari bahaya sihir sebelum terjadi. Cara yang paling penting dan bermanfaat ialah penjagaan dengan melakukan dzikir yang disyari’atkan, membaca do’a dan ta’awudz sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, diantaranya seperti di bawah ini:
  1. Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat lima waktu, sesudah membaca wirid atau ketika akan tidur. Karena ayat Kursi termasuk ayat yang paling besar nilainya di dalam Al Qur’an. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda dalam salah satu hadits shahihnya: “Barangsiapa membaca ayat Kursi pada amalam hari, Allah senantiasa menjaganya dan syetan tidak mendekatinya sampai shubuh”.
  2. Membaca surat Al-Ikhlas, surat Al-falaq, dan surat An-naas pada setiap selesai shalat lima waktu, dan membaca ketiga surat tersebut sebanyak tiga kali pada pagi haru sewsudang shalat shubuh, dan menjelang malam sesudah shalat maghrib, sesuai dengan hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i.
  3. Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqoroh yaitu ayat 285 – 286 pada permulaan malam, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqoroh pada malam hari, maka cukuplah baginya”.
  4. Banyak berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna. Hendaklah dibaca pada malam hari dan siang hari ketika berada di suatu tempat, ketika masuk ke dalam suatu bangunan, ketika berada di tengah padang pasir, di udara atau di laut. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa singgah di suatu tempat dan dia mengucapkan:’ A’udzu bi kalimaatillahi attaammaati min syarri maa khalaq’ (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk ciptaan-Nya), maka tidak ada sesuatupun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu”. (HR Muslim).
  5. Membaca do’a di bawah ini masing-masing tiga kali pada pagi hari dan menjelang malam : “Bis millahilladziilaa ya dhurru ma’asmihi syai-un fiilardhi w alaa fiissamaaa’i wa huwassamii’ul ‘aliim. (Dengan Nama Allah, yang bersama namaNya, tidak ada sesuatupun yang membahayakan, baik di bumi maupun di langit dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui). (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi).

Bacaaan dzikir dan ta’awwudz ini merupakan sebab-sebab yang besar untuk memperoleh keselamatan dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan sihir dan kejahatan lainnya. Yaitu bagi mereka yang selalu mengamalkannya secara benar disertai keyakinan yang penuh kepada Allah, bertumpu dan pasrah kepada-Nya dengan lapang dada dan hati yang khusyu’ dan Bacaan-bacaan seperti ini juga merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan sihir yangsedang menimpa seseorang, dibaca dengan hati yang khusyu’, tunduk dan merendahkan diri, seraya memohon kepada Allah agar dihilangkan bahaya dan malapetaka yang dihadapi.
 
Do’a-do’a berdasarkan riwayat yang kuat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh sihir dan lain sebagainya adalah sebagai berikut :
 
  1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam me-ruqyah (mengobati dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau do’a-do’a syar’i) sahabat-sahabatnya dengan bacaan : “Allahumma robbinnaasi adzhibil ba-sa wasyfi antasy syaafii laa syifaa-a illaa syfaa-uka syifaa-allaa yughoodiru saqomaa” (Ya Allah, Tuhan segenap manusia..! Hilangkanlah sakit dan sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tidak ada penyembuhan melainkan penyembuhan dari-Mu, penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit”.(HR Muslim).
  2. Do’a yang dibaca Jibril ‘Alaihi Sallam, ketika me-ruqyah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. “Bismillahi arqiika min kulli syai-in yu-dziika wa min syarriin kulli nafsinn aw ‘aini khaasid. Allahu yasyfiika bismillaho arqiika” (Dengan Nama Allah, Aku meruqyahmu dari segala yang meyakitkanmu, dan dari kejahatan setiap diri atau dari pandangan mata yang penuh kedengkian, semoga Allah menyembuhkanmu, dengan Nama Allah aku Meruqyahmu”. Bacaan ini hendaknya diulang tiga kali.
  3. Pengobatan sihir cara lainnya, terutama bagi laki-laki yang tidak dapat berjima’ (hubungan seks) dengan istrinya karena terkena sihir. Yaitu, ambillah tujuh lembar daun bidara yang masih hijau, ditumbuk atau digerus dengan batu atau alat tumbuk lainnya, sesudah itu dimasukkan ke dalam bejana secukupnya untuk mandi; bacakan ayat Kursi pada bejana tersebut; bacakan pula surat Al-Kafirun, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, dan ayat-ayat sihir dalam surat Al-A’raf ayat 117-119, surat Yunus ayat 79-82 dan surat Thaha ayat 65-69.
  4. Cara pengobatan lainnya, sebagi cara yang paling bermanfaat ialah berupaya mengerahkan tenaga dan daya untuk mengetahui dimana tempat sihir terjadi, di atas gunung atau di tempat manapun ia berada, dan bila sudah diketahui tempatnya, diambil dan dimusnahkan sehingga lenyaplah sihir tersebut. Inilah beberapa penjelasan tentang perkara-perkara yang dapat menjaga diri dari sihir dan usaha pengobatan atau cara penyembuhannya, dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Adapun pengobatan dengan cara-cara yang dilakukan tukang-tukang sihir, yaitu dengan mendekatkan diri kepada jin disertai dengan penyembelihan hewan, atau cara-cara mendekatkan diri lainnya, maka semua ini tidak dibenarkan karena termasuk perbuatan syirik paling besar yang wajib dihindari.
 
Demikian pula pengobatan dengan cara bertanya kepada dukun, ‘arraf (tukang ramal) dan menggunakan petunjuk sesuai dengan apa yang mereka katakan. Semua ini tidak dibenarkan dalam islam, karena dukun-dukun tersebut tidak beriman kepada Allah; mereka adalah pendusta dan pembohong yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib, dan kemudian menipu manusia.
 
Sumber Hukum "Sihir Dan Perdukunan" Syaikh Abdul Aziz bin Abdul Aziz bin Baaz, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI bekerjasama dengan Al HAramain Islamic Foundation

 

 

 

Rabu, 10 Agustus 2011

LAYANAN GRATIS PENGURUSAN JENAZAH BAGI KAUM DHUAFA - AREA JABODETABEK

Bagi keluarga yang tidak mampu dan ada kerabatnya yang meninggal dunia dan membutuhkan pertolongan, silakan hubungi :

  1.  Bapak Adhiatmoko di  02195347986. memiliki 2 unit ambulan jenazah  untuk jenis layanan ambulance gratis ini untuk:
    1.  Asal jenazah jadebotabek karena kantornya di Sawangan, depok.
    2.  Tujuan antar: lampung dan Jawa (Baru mampu menjangkau jarak itu)
    3.  Layanan: memandikan, memberi kain kafan, sampai antar ke kuburan.
  2.  Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia -  0213818457 juga menyediakan pelayanan mobil jenazah bagi dhuafa (gratis) untuk wilayah Jabodetabek.
  3. Rumah Aspirasi Warga Amanah (RAMAH) Jakarta, -  0213901684 (kang abib asep)
    1. Menyediakan ambulansnya saja (3 unit)
    2. Membantu pengurusan surat2 Gakin/SKTM,
Semoga info ini bermanfaat dan mohon disebar luaskan. Dengan memberi info ini saja sudah sangat membantu mereka yang membutuhkan. Terima kasih.

Selasa, 09 Agustus 2011

Halal bi Halal, Makna dan Hikmahnya

Halal bi Halal adalah suatu bentuk ungkapan khusus pada waktu dan tempat tertentu sebagai pengganti dari kata Silatur-Rahmi dalam rangka memperingati hari raya Idul Fitri yang merupakan salah satu hari raya islam yang telah membudaya di beberapa Negara di Asia Tenggara khususnya Indonesia.

Jika kita kembali pada sejarah Islam, sejak zaman Rasulullah SAW, sahabat, para tabi’ dan tabi’ tabi’in bahkan hingga saat ini, maka kita tidak akan mendapatkan istilah Halal bi Halal kecuali kata “Silatu Rahim”.

Meskipun Istilah Halal bi Halal ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “Halal dengan yang halal” atau “sama-sama saling menghalalkan” atau kadang pula diartikan dengan “saling maaf memaafkan/saling menghalalkan dosa masing-masing” namun terdapat kerancuan pemahaman di kalangan orang Arab itu sendiri (ashab al-lughah) terhadap penggunaan dan maksud dari istilah ini.

Orang Arab sendiri tentunya akan terheran-heran di saat mereka bertanya tentang acara Halal bi Halal yang sedang dirayakan oleh masyarakat Indonesia yang berada di Arab. Namun pada akhirnya mereka Mereka pun akan dapat memahaminya setelah mendapatkan penjelasan tentang sebab dan maksud dari perayaan itu dan kadang mendapat sorotan tentang kesalahan penempatan bahasa yang dimaklumi sebagai bahasa atau ungkapan orang yang baru belajar bahasa Arab. Meskipun kadang pula mendapat pujian tentang dalamnya hikmah yang terkandung dari ungkapan tersebut.

Gaya bahasa dari kata “Halal bi Halal” sangat terpengaruh dengan gaya bahasa yang terkandung dalam firman Allah SWT, pada Surah Al-Maidah ayat 45 yang berbunyi :
وَ كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنْفَ بِالأَنْفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ……
“Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata (dibalas) dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qisashnya…”.
Gaya bahasa pada ayat ini mengandung makna qishaash (hukum balasan) terhadap orang yang telah dirugikan, dibalas dengan balasan yang sama atau setimpal.
Dalam firman Allah yang lain pada Surat Al Baqarah Ayat 178 dikatakan :
يَاأَيُّهَا الذِيْنَ ءَامَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلىَ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنْثَى بِالأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْئٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَأَدَآءٌ اِلَيْهِ بِإِحْسٰنٍ….

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). (QS.Al-Baqarah:178).
Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema’afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
Pada ayat ini, telah mengisyaratkan akan adanya sifat pemaaf, yang kemudian pada ayat 237 surah Al-Baqarah disebutkan bahwa :
وَ أَنْ تَعْفُوْا أَقـْرَبُ لِلتـَّقـْوَى
“..Dan jika kamu memaafkan, maka hal itu lebih dekat kepada takwa…”
Memaafkan orang lain sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh baginda Rasulullah SAW di awal dakwahnya, bahkan beliau mendoakan mereka yang ingkar dan telah melukainya di saat Jibril as meminta kepadanya untuk memohon balasan atau azab Allah bagi mereka, merupakan suatu kesabaran dan keteguhan hati dalam meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Hal senada pun akan dijumpai dalam berpuasa pada bulan Ramadhan, dimana dengan berpuasa akan melatih kesabaran dan membentuk keperibadian dalam meraih tujuan utama dari puasa yaitu:
لـَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْن
“…Agar kamu bertakwa” (QS.Al-Baqarah:183)

Sehingga para ulama yang menyebarkan islam di Indonesia, di saat menjawab pertanyaan-pertanyaan orang awam tentang perbedaan Silatur Rahmi pada hari-hari biasa dan pada hari raya Idul Fitri, mereka lebih menyederhanakan perbedaan tersebut dengan Istilah baru yaitu Halal bi Halal, yang dapat berarti bahwa bersilatur rahmi di hari biasa boleh jadi Haram bi Halal atau orang yang menjalin hubungan telah berbuat salah dan dalam keadaan biasa-biasa saja terlebih lagi di Indonesia, ungkapan silatur rahmi lebih diterjemahkan dengan sekedar berziarah. Sedangkan bersilatur rahmi setelah hari raya Idul Fitri merupakan refleksi dari pembentukkan keperibadian di saat berpuasa sehingga orang yang menjalin dan dijalin silatur rahmi dalam keadaan suci, sadar dan ikhlas untuk memaafkan dan dimaafkan serta memperbaiki hubungan yang telah kusut.

Makna dari Halal bi Halal ini akan lebih bermakna jika puasa yang dilakukan benar-benar sempurna dan mampu meraih tujuan utama dari puasa itu sendiri yaitu meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda :
رُبَّ صَائِمٍ لـَيْسَ لَهُ مِنٓ صِيَامِهِ إِلاَّ الـْجُوْع

“Banyak sekali orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar” (HR.Nasai, Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran akan niat dan tujuan dalam berpuasa.

Jika kita ingin melakukan perjalanan ke suatu tempat, maka niat kita bukan sekedar berangkat ke tempat tersebut dan tujuan kita bukan semata-mata karena ingin sampai atau tiba di tempat tersebut melainkan masih banyak tujuan-tujuan utama lainnya yaitu ingin mengetahui keberadaan tempat tersebut, bersilatur rahmi dengan sanak saudara, berbelanja ataupun berekreasi dan bertamasya.

Begitu pula halnya dengan berpuasa, dimana niat berpuasa bukan sekedar melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, malu dengan tetangga atau takut dihina. Dan tujuan berpuasa bukan karena ingin sampai dan tiba di pelabuhan idul fitri saja melainkan masih banyak tujuan utama lainnya yang akan menjadikan kita sebagai orang yang bertakwa.

Kesadaran akan niat dan tujuan inilah yang akan mendukung pelaksanaan puasa guna membentuk keperibadian yang sebelumnya mati rasa menjadi sensitive dalam merasa dan memperoleh banyak bekal lahir maupun batin sebagai tabungan di tempat tujuan. Di saat tiba di pelabuhan Idul Fitri, begitu kaget dan tercengan akan kebesaran, kemegahan dan kemuliaan Allah SWT seraya bertakbir :
أَلله أَكْبَر الله أكْبَر الله أكْبَر وَلِلهِ الْحَمْد
“Maha besar Allah, Maha besar Allah, Maha besar Allah bagi-Mu segala puji”
Pujian yang bukan sekedar lantuman nada melainkan pujian hakiki yang muncul dari dalam diri yang senantiasa akan membuat orang semakin betah dan bergegas mencari sanak saudara untuk bersilatu rahmi.

Kalimat Silatu Rahmi tersusun dari dua kata yaitu Shilah yang berarti “Hubungan” dan Rahmi yang berarti “Kerabat”, “Rahim dimana janin berada” atau “Kasih sayang”. Secara harfiah, Silatu Rahmi berarti “menjalin hubungan tali kekerabatan” atau “menjalin hubungan kasih sayang”.
Allah SWT. berfirman dalam Surah Ar-Ra’d:21 :
وَالـَّذِيْنَ يَصِلـُوْنَ مَا أَمَرَاللهُ بِهِ أَنْ يُوْصَلَ وَيَخـْشَوْنَ رَبـَّهُمْ وَيَخَافـُوْنَ سُوْءَ الـْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk”.

Silatu Rahmi secara umum yaitu silatu rahmi kepada siapa saja, seagama maupun tidak seagama, kerabat dan bukan kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan adalah: menghubungi, mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur, berbuat baik dan hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Silatu rahmi ini di sebut juga dengan silatu rahmi kemanusiaan.

Silatu Rahmi secara khusus yaitu silatu rahmi kepada kerabat dan kepada yang seagama yaitu dengan cara membantunya dengan harta, tenaga, menolong dan menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemudharatan yang menimpa serta berdoa dan membimbing agamanya.

Dengan bersilatur rahmi, maka akan timbul rasa kasih sayang diantara sesama, dan kasih sayang ini akan menyempurnakan keimanan. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
لاَ تـَدْخُلُوْنَ الـْجَنـَّة حَتـَّى تُؤْمِنُوْا وَلاَ تُؤْمِنـُوْا حَتـَّى تَحَابُوْا أَوَلاَ أَدُلـُّكـُمْ عَلـَى شـَيْئٍ اِذَا فَعَلـْتـُمُوْهُ تـَحَابَبْتـُمْ أَفـْشُوْا السَّلاَم بَيْنَكـُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian benar-benar beriman, dan kalian tidak akan sampai meraih keimanan dengan benar sampai kalian saling mencintai dan mengasihi diantara sesama, maukah aku tunjukkan suatu perkara apabila kalian laksanakan maka kalian akan saling mencintai dan mengasihi “sebarkanlah salam diantara kalian” (HR.Muslim).

Hadis ini menunjukkan akan pentingnya Silatu Rahmi meskipun dimulai dengan hal yang dianggap remeh dan mudah yaitu dengan mengucapkan salam dan tegur sapa yang akan melahirkan keakraban dan kepedulian terhadap sesama. Meskipun mudah namun kadang sulit untuk diterapkan.

Rasulullah SAW bersabda :
أَسْرَعُ الـْخَيْرِ ثـَوَابًا الـْبـِرُّ وَصِلـَةُ الرَّحْم
“Kebaikan yang paling cepat balasannya adalah berbuat kebaikan dan silatu rahmi”

Sungguh agung dan mulia ajaran Islam yang menyeru ummat islam untuk saling kenal mengenal dan menjalin hubungan persaudaraan dan menggalakkan sikap peduli terhadap sesama. Dan islam pun mengunci kuat pintu-pintu konflik dan menutup rapat potensi permusuhan.sebagaimana dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW mengancam orang-orang yang memutuskan tali silatu rahmi :


لاَ يَدْخُلُ الْجَنـَّة قَاطِعُ رَحْمٍ

“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silatu rahmi” (HR.Muslim). Dan :,
مَنْ هَاجَرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَث لـَيَالٍ لَنْ تُقْبَلَ عَمَلَهُمَا حَتَّى يَصْطَلحَا وَخَيْرُهُمَا الْوَاصِل

“Barang siapa yang bertengkar dengan saudaranya melebihi tiga hari maka tidak akan diterima amal keduanya hingga keduanya rujuk kembali dan yang pertama rujuk adalah yang paling baik”

Kesemua itu menunjukkan bahwa amal dan peribadatan seorang hamba tidak akan sempurna tanpa memperbaiki hubungan silatu rahmi. Dengan kata lain, hubungan antara Allah dan seorang hamba (hablun minallah) akan sempurna jika hamba itu menjaga dan menjalin hubungan antar sesama (hablun minannas).

Dengan bersilatur rahmi akan menyempurnakan keimanan kepada Allah SWT, terutama jika silatu rahmi yang dijalin benar-benar atas dasar saling menghalalkan dosa-dosa/memaafkan masing-masing dengan ikhlas. Maka bekal atau modal yang telah kita peroleh selama bulan ramadhan tidak berkurang, bahkan telah mendapatkan bantuan teman/kerabat yang akan mengantar berbelanja bukan sebatas pada kebutuhan primer seperti shalat wajib dan puasa wajib saja, melainkan mampu memborong barang-barang kebutuhan sekunder dan lux seperti shalat sunnah dan sebagainya. Dan akan menjadi orang yang benar-benar menikmati tamasya dan rekreasi di akherat kelak.

Adanya perbedaan penyebutan antara Silatu Rahmi pada hari biasa dan pada hari raya Ied yang lebih dikenal di Indonesia dengan Halal bi Halal disebabkan pula oleh kemuliaan bulan Ramadhan sebagai penghormatan terhadap keutamaan dan kelebihan, serta bulan Syawal sebagai bulan bertambah dan meningkatnya amal dan bonus atau discount untuk menutupi kekurangan yang ada pada bulan Ramadhan dengan berpuasa selama 6 (enam) hari di bulan syawal. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أتـْبَعَهُ سِتـًّا مِنْ شَوَالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan berpuasa selama enam hari di bulan Syawal, maka ia telah berpuasa selama satu tahun penuh. (HR.Muslim).

Semoga segala kekurangan amal perbuatan pada bulan Ramadhan dapat tertutupi dan ditingkatkan di bulan Syawal ini dengan Silatu Rahmi ataupun Halal bi Halal serta meningkatkan amal ibadah lainnya demi menyempurnakan keimanan menjadi insan kamil yang benar-benar bertakwa kepada Allah SWT.

Kamis, 04 Agustus 2011

LARANGAN GHIBAH & NAMIMAH DALAM ISLAM


A. PENJELASAN TENTANG GHIBAH

“Seluruh ulama bersepakat bahwa ghibah itu haram dilakukan oleh siapa pun untuk membicarakan siapa pun dari kaum muslimin. Hal ini dikarenakan terdapat larangan ghibah secara tegas dalam al Qur’an dan sunnah.

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS al Hujurat:12).

Dalam ayat ini terdapat larangan ghibah. Ghibah adalah membicarakan keburukan yang benar-benar ada pada orang lain. Jika keburukan tersebut tidak ada pada orang yang dibicarakan maka itulah yang disebut dengan buhtan.

Larangan ghibah dalam ayat di atas diiringi dengan penggambaran yang membuat kita semakin merasa ngeri dan menganggap ghibah sebagai hal yang sangat-sangat menjijikan. Hal ini dikarenakan bahaya besar yang terdapat dalam ghibah.

Memakan daging manusia adalah suatu hal yang sangat menjijikkan bagi manusia yang masih normal meski daging tersebut adalah daging orang kafir dan musuh yang sangat dibenci. Bagaimana lagi jika daging tersebut adalah bangkai saudara kita sendiri seagama…! Tentu kita akan sangat jijik dan tidak suka.

Bagaimana lagi jika daging manusia tersebut adalah daging yang sudah menjadi bangkai. Wong daging yang enak dan halal saja akan menjadi sangat menjijikkan jika daging tersebut berupa bangkai.

Uraian di atas menunjukkan bahwa ayat di atas mengandung unsur hiperbola yang sangat luar biasa untuk melarang ghibah setelah terdapat larangan ghibah secara tegas di awal ayat.

Di antara kandungan ayat di atas, bahwa pengertian ghibah adalah membicarakan kekurangan orang lain tanpa sepengetahuannya. Oleh karena itu, objek ghibah diserupakan dengan bangkai karena dia tidak bisa membela diri atau mencegah terjadinya hal tersebut pada dirinya. Sisi kesamaan yang kedua antara objek ghibah dengan bangkai adalah orang yang sudah mati tidak tahu kalau dagingnya dimakan orang. Demikian pula objek ghibah tidak mengetahui adanya orang yang menggunjingnya” (Bahjah an Nazhirin Syarh Riyadh Shalihin karya Salim al Hilali 3/6).

Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa kehormatan seseorang bagaikan daging dan darahnya sendiri karena hati seseorang itu akan merasa tersakiti jika kehormatannya dinodai sebagaimana badan seseorang itu merasa sakit jika dagingnya dipotong-potong. Jika tidak pantas bagi orang yang berakal untuk memakan daging orang maka menodai kehormatan seseorang tentu lebih tidak pantas lagi (Hasyiah Showi ala al Jalalain 4/145, cetakan Dar al Fikr).

Tentang ayat di atas Ibnu Abbas mengatakan, “Allah mengharamkan seorang mukmin menggunjing mukmin yang lain sebagaimana Allah mengharamkan memakan bangkai”(Diriwayatkan oleh Thabari, hasan. Lihat at Tafsir al Muhtashar al Shahih hal 550, cetakan Dar al Ma-atsir).

Qotadah berkata, “Sebagaimana engkau ketika menjumpai bangkai yang dipenuhi banyak belatung engkau tidak suka memakannya maka demikian pula hendaknya engkau tidak suka untuk menggunjingnya ketika dia masih hidup” (Diriwayatkan oleh Thabari, hasan. Lihat at Tafsir al Muhtashar al Shahih hal 550, cetakan Dar al Ma-atsir).

Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Kita semua berkewajiban untuk tidak membicarakan keburukan orang lain, baik keburukan itu benar-benar ada pada dirinya atau pun tidak. Hendaknya kita camkan bahwa jika kita sebarkan keburukan saudara kita, sesama muslim maka pasti Allah akan mengirimkan orang yang akan menyebarkan keburukan kita, sebagai balasan yang setimpal. Jangan kita kira Allah lalai dengan perbuatan orang-orang yang zalim.

Akan tetapi bila ghibah tersebut dilakukan karena suatu kebutuhan, maka tidak mengapa dan tidak dosa. Oleh sebab itu ketika Fathimah binti Qois menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta saran beliau terkait dengan tiga orang laki-laki yang melamarnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjelaskan kekurangan orang yang dirasa memiliki kekurangan. Fathimah binti Qois dilamar oleh tiga orang, Muawiyah bin Abu Sufyan, Abu Jahm bin Harits dan Usamah bin Zaid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Muawiyah itu orang yang tidak punya apa-apa. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul istrinya. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid” (HR Muslim). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan kekurangan dua orang tersebut karena menginginkan kebaikan bagi Fathimah binti Qois dan menjelasan keadaan yang ada sebagaimana apa adanya.

Demikian pula bila tujuan ghibah yang dilakukan adalah mengadukan tindakan orang yang menzhalimi kita. Ghibah semacam ini hukumnya boleh. Misalnya ada orang yang menzalimi kita lalu kita laporankan kejadian tersebut kepada orang yang bisa membantu kita. Kita sampaikan kepadanya, “A merampas uangku” atau “B mengingkari bahwa dia memiliki hutang denganku”. Kalimat semacam itu diperbolehkan. Dalilnya adalah Hindun binti Utbah datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaporkan suaminya, Abu Sufyan. Hindun mengatakan bahwa Abu Sufyan adalah orang yang pelit sehingga tidak memberi uang nafkah yang cukup baginya dan anak-anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu secukupnya” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam hal ini Hindun menyebutkan sifat suaminya yang Abu Sufyan tidak suka jika dicerita-ceritakan. Akan tetapi ini dibolehkan dalam rangka mengadukan kezaliman.
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Yang artinya, “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS an Nisa:148).

Artinya orang yang dizalimi diperbolehkan untuk mengucapkan ucapan buruk dengan suara keras agar bisa menghilangkan kezaliman yang menimpanya.

Namun apa ucapan semacam ini diperbolehkan jika maksud seseorang adalah mengiringkan kejengkelan hatinya terhadap orang yang menzaliminya? Dia ceritakan apa yang terjadi kepada temannya dan orang tersebut tahu bahwa temannya itu tidak bisa menghilangkan kezaliman yang menimpanya namun hatinya bisa terasa plong karenanya.

Pendapat yang paling kuat, hal tersebut dibolehkan mengingat ayat di atas, QS an Nisa:48, bersifat umum. Hal ini juga sering kita jumpai.

Sering kali ketika orang tersakiti karena hartanya dirampas orang atau mengingari haknya maka dia bercerita kepada temannya dengan tujuan meringankan kejengkelan hatinya. Demikian pula dia ceritakan masalahnya kepada anak-anaknya, istri, keluarga dan lainnya. Tindakan ini hukumnya tidaklah mengapa. Karena bagi orang yang terzalimi, orang yang menzaliminya itu tidaklah memiliki kehormatan” (Tafsir Surat al Hujurat sampai al Hadid hal 52-54, cetakan Dar Tsuraya).

Bagi kebanyakan kaum wanita ibu-ibu ataupun remaja putri bergunjing membicarakan aib cacat atau cela yg ada pada orang lain bukanlah perkara yg besar. Bahkan di mata mereka terbilang remeh ringan dan begitu gampang meluncur dari lisan. Seolah-olah obrolan tdk asyik bila tdk membicarakan kekurangan orang lain. “Si Fulanah begini dan begitu”. “Si ‘Alanah orang suka ini dan itu”.

Ketika asyik membicarakan kekurangan orang lain seakan lupa dgn diri sendiri. Seolah diri sendiri sempurna tiada cacat dan cela. Ibarat kata pepatah “Kuman di seberang lautan tampak gajah di pelupuk mata tiada tampak.”

Perbuatan seperti ini selain tdk pantas/tak baik menurut perasaan dan akal sehat kita ternyata syariat yg mulia pun mengharamkan bahkan menekankan utk melakukan yg sebalik yaitu menutup dan merahasiakan aib orang lain.

Ketahuilah wahai saudariku siapa yg suka menceritakan kekurangan dan kesalahan orang lain mk diri pun tdk aman utk diceritakan oleh orang lain. Seorang ulama salaf berkata “Aku mendapati orang-orang yg tdk memiliki cacat/cela lalu mereka membicarakan aib manusia mk manusia pun menceritakan aib-aib mereka. Aku dapati pula orang-orang yg memiliki aib namun mereka menahan diri dari membicarakan aib manusia yg lain maka manusia pun melupakan aib mereka.” (Jami’ul Ulum Wal Hikam).

Tahukah engkau bahwa manusia itu terbagi dua:

Pertama: Seseorang yg tertutup keadaan tdk pernah sedikitpun diketahui berbuat maksiat. Bila orang seperti ini tergelincir dlm kesalahan mk tdk boleh menyingkap dan menceritakan krn hal itu termasuk ghibah yg diharamkan. Perbuatan demikian juga berarti menyebarkan kejelekan di kalangan orang2 yg beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

“Sesungguh orang-orang yg menyenangi tersebar perbuatan keji ( Baik seseorang yg disebarkan kejelekan itu benar-benar terjatuh dlm perbuatan tersebut ataupun sekedar tuduhan yg tdk benar) di kalangan orang-orang beriman mereka memperoleh azab yg pedih di dunia dan di akhirat.”

Kedua: Seorang yg terkenal suka berbuat maksiat dengan terang-terangan tanpa malu-malu tdk peduli dgn pandangan dan ucapan orang lain. maka membicarakan orang seperti ini bukanlah ghibah. Bahkan harus diterangkan keadaan kepada manusia hingga mereka berhati-hati dari kejelekannya. Karena bila orang seperti ini ditutup-tutupi kejelekan dia akan semakin bernafsu utk berbuat kerusakan melakukan keharaman dan membuat orang lain berani utk mengikuti perbuatannya. (Jami’ul Ulum Wal Hikam Syarhul Arba’in Ibnu Daqiqil Ied Qawa’id wa Fawa`id minal Arba’in An-Nawawiyyah ).

Dalam Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ ..

“Siapa yg melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yg sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan dari satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yg memudahkan orang yg sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkan di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yg menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aib di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya.”

Bila demikian engkau telah tahu keutamaan orang yg suka menutup aib saudara sesama muslim yg memang menjaga kehormatan diri tdk dikenal suka berbuat maksiat namun sebalik di tengah manusia ia dikenal sebagai orang baik-baik dan terhormat. Siapa yg menutup aib seorang muslim yg demikian keadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup aib di dunia dan kelak di akhirat.

Namun bila di sana ada kemaslahatan atau kebaikan yg hendak dituju dan bila menutup akan menambah kejelekan mk tdk apa-apa bahkan wajib menyampaikan perbuatan jelek/aib/cela yg dilakukan seseorang kepada orang lain yg bisa memberi hukuman. Jika ia seorang istri mk disampaikan kepada suaminya. Jika ia seorang anak mk disampaikan kepada ayahnya. Jika ia seorang guru di sebuah sekolah mk disampaikan kepada mudir- . Demikian seterusnya. (Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin).

Yang perlu diingat wahai saudariku diri kita ini penuh dgn kekurangan aib cacat dan cela. mk sibukkan diri ini utk memeriksa dan menghitung aib sendiri niscaya hal itu sudah menghabiskan waktu tanpa sempat memikirkan dan mencari tahu aib orang lain. Lagi pula orang yg suka mencari-cari kesalahan orang lain utk dikupas dan dibicarakan di hadapan manusia Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas dgn membongkar aib walaupun ia berada di dlm rumahnya. Sebagaimana disebutkan dlm hadits Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَوْرَاتِهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

“Wahai sekalian orang yg beriman dgn lisan dan iman itu belum masuk ke dlm hatinya (Yakni lisan menyatakan keimanan namun iman itu belum menancap di dlm hatinya).

Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin dan jangan mencari-cari/mengintai aurat mereka. (Yang dimaksud dgn aurat di sini adalah aib/cacat atau cela dan kejelekan. Dilarang mencari-cari kejelekan seorang muslim utk kemudian diungkapkan kepada manusia).

Karena orang yg suka mencari-cari aurat kaum muslimin Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yg dicari-cari aurat oleh Allah niscaya Allah akan membongkar di dlm rumah .”

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan hadits yg sama ia berkata “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar lalu menyeru dgn suara yg tinggi:
يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ اْلإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لاَ تُؤْذُو الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تُعَيِّرُوْهُمْ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ، يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ

“Wahai sekalian orang yg mengaku berislam dgn lisan dan iman itu belum sampai ke dlm hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin janganlah menjelekkan mereka jangan mencari-cari aurat mereka. Karena orang yg suka mencari-cari aurat saudara sesema muslim Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yg dicari-cari aurat oleh Allah niscaya Allah akan membongkar walau ia berada di tengah tempat tinggalnya.”

Dari hadits di atas tergambar pada kita betapa besar kehormatan seorang muslim. Sampai-sampai ketika suatu hari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memandang ke Ka’bah ia berkata:
مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمَ حُرْمَةً عِنْدَ اللهِ مِنْكِ
“Alangkah agung engkau dan besar kehormatanmu. Namun seorang mukmin lbh besar lagi kehormatan di sisi Allah darimu.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2032)

Karena itu saudariku Tutuplah cela yg ada pada dirimu dgn menutup cela yg ada pada saudaramu yg memang pantas ditutup. Dengan engkau menutup cela saudaramu Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup celamu di dunia dan kelak di akhirat. Siapa yg Allah Subhanahu wa Ta’ala tutup cela di dunia di hari akhir nanti Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan menutup cela sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَسْتُرُ اللهُ عَلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya.”

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Tentang ditutup aib si hamba di hari kiamat ada dua kemungkinan. Pertama: Allah akan menutup kemaksiatan dan aib dgn tdk mengumumkan kepada orang2 yg ada di mauqif . Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala tdk akan menghisab aib dan tdk menyebut aib tersebut.” Namun kata Al-Qadhi sisi yg pertama lbh nampak krn ada hadits lain.”

Hadits yg dimaksud adl hadits dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ia berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوْبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ. فَيُعْطِي كِتَابَ حَسَنَاتِهِ ..

“Sesungguh Allah mendekatkan seorang mukmin lalu Allah meletakkan tabir dan menutupi si mukmin . Allah berfirman ‘Apakah engkau mengetahui dosa ini yg pernah kau lakukan? Apakah engkau tahu dosa itu yg dulu di dunia engkau kerjakan?’ Si mukmin menjawab: ‘Iya hamba tahu wahai Rabbku .’ Hingga ketika si mukmin ini telah mengakui dosa-dosa dan ia memandang diri akan binasa krn dosa-dosa tersebut Allah memberi kabar gembira padanya: ‘Ketika di dunia Aku menutupi dosa-dosamu ini dan pada hari ini Aku ampuni dosa-dosamu itu.’ Lalu diberikanlah pada catatan kebaikan-kebaikannya”

Ghibah yang di perbolehkan

Berdasarkan penjelasan Yahya bin Syaraf an-Nawawi ada enam jenis ghibah atau menggunjing yang diperbolehkan.

[Pertama]

Dalam kasus penganiayaan. Orang yang dianiaya boleh mengadukan orang yang menganiaya dirinya kepada pihak terkait. Semisal seorang melapor ke polisi, “Si A telah menganiayaku atau telah memukuliku”. Contoh yang lain adalah seorang santri yang dianiaya oleh temannya lalu melapor kepada pengurus pesantren.

[Kedua]

Meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dan menyadarkan pelaku kemaksiatan agar kembali ke jalan yang benar. Semisal kita katakan kepada orang yang diharapkan mampu mengingatkan, “Si A melakukan demikian tolong disadarkan”.

[Ketiga]

Meminta fatwa, dengan berkata kepada seorang ulama atau ustadz, “Si A, bapakku atau saudaraku telah menganiayaku…. Apakah dia berhak melakukan hal tersebut? Solusi apa yang bisa aku lakukan agar terhindar dari penganiayaannya?”.

Ucapan semacam ini diperbolehkan karena memang diperlukan. Akan tetapi, lebih baik jika menggunakan bahasa yang disamarkan. Semisal dengan mengatakan, “Bagaimana hukum seseorang atau seorang suami, orang tua atau anak yang berbuat demikian dan demikian?”.

Meski demikian diperkenankan pula menyebutkan identitas pelaku.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ ، وَلَيْسَ يُعْطِينِى مَا يَكْفِينِى وَوَلَدِى ، إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهْوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ « خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ »

Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no 5049).

[Keempat]

Guna memperingatkan kaum muslimin dari suatu bahaya. Contoh ghibah yang dibolehkan karena alasan ini adalah sebagai berikut:

a. Kritik terhadap para perawi hadits, para saksi dan para penulis buku. Hal ini diperbolehkan berdasarkan konsesus umat Islam. Bahkan hukumnya bisa wajib jika untuk mempertahankan keotentikan syariat.

b. Menceritakan kekurangan seseorang ketika kita dimintai pertimbangan sebelum melakukan urusan penting dengan orang tersebut.
عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ أَبِى الْجَهْمِ بْنِ صُخَيْرٍ الْعَدَوِىِّ قَالَ سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ تَقُولُ إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلاَثًا فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سُكْنَى وَلاَ نَفَقَةً قَالَتْ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِى ».

فَآذَنْتُهُ فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ وَأَبُو جَهْمٍ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ لاَ مَالَ لَهُ وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ ». فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا أُسَامَةُ أُسَامَةُ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « طَاعَةُ اللَّهِ وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ». قَالَتْ فَتَزَوَّجْتُهُ فَاغْتَبَطْتُ.
Dari Abi Bakr bin Abi Al Jahm bin Shukhair Al ‘Adawi, Aku mendengar Fathimah binti Qois bercerita bahwa suaminya sudah tiga kali mencerainya lalu Rasulullah menetapkan bahwa dia tidak berhak mendapatkan hak tempat tinggal dan nafkah dari bekas suaminya. Rasulullah berkata kepadaku, “Jika masa iddahmu telah berakhir, tolong beritahukan kepadaku!”. Setelah kukabarkan kepada Rasulullah ada tiga laki-laki yang meminangku yaitu Muawiyah, Abu Jahm dan Usamah bin Zaid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Muawiayah adalah seorang yang miskin, tidak berharta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul istrinya. Terimalah lamaran Usamah bin Zaid. Fathimah binti Qois mengibasan tangannya sambil berkata, “Usamah?! Usamah?!”. Rasul bersabda, “Taat kepada Allah dan rasulNya itu yang lebih baik bagimu”. Fathimah berkata, “Akhirnya aku menikah dengan Usamah dan aku merasa sangat beruntung” (HR Muslim no 3785).
c. Jika kita melihat seorang yang membeli barang yang cacat, seharusnya kita mengingatkan pembeli mengenai hal itu dengan maksud menghendaki kebaikan untuk orang lain, bukan untuk merugikan penjual atau mengacaukan transaksi jual beli.

d. Jika kita melihat ada orang yang bergaul akrab dengan orang fasik (orang yang gemar bermaksiat) atau menimba ilmu dari ahli bid’ah dan kita khawatir orang tersebut akan terpengaruh maka seharusnya kita menasehati orang tersebut dengan menjelaskan keadaan gurunya berdasarkan bukti dan fakta bukan prasangka dan praduga. Hal ini kita lakukan karena kita menginginkan kebaikan untuk orang tersebut dan bukan untuk menggunjing gurunya.

e. Apabila ada orang yang memegang jabatan tertentu namun dia tidak bisa menjalankannya sebagaimana mestinya karena tidak memiliki kapabilitas atau suka melanggar aturan agama. Selayaknya orang ini kita laporkan kepada atasannya untuk menjelaskan keadaan sebenarnya. Dengan demikian pihak atasan tidak tertipu laporan anak buahnya sehingga bisa mengarahkan anak buahnya untuk bekerja dengan baik.

[Kelima]

Orang yang terang-terangan melakukan berbagai dosa besar atau kebid’ahan. Dalam kasus seperti ini dibolehkan menceritakan kejelekan yang dia lakukan dengan terang-terangan, namun tidak diperkenankan menyebutkan kejelekan yang lain kecuali berdasarkan alasan yang bisa dibenarkan.

[Keenam]

Untuk memberi penjelasan. Jika ada seseorang yang terkenal dengan julukan tertentu seperti, “si buta, si pincang, si cebol dan semisalnya” maka dibolehkan menyebutkan julukan tersebut untuk memberi penjelasan tentang orang yang dimaksudkan. Namun hukum hal ini berubah menjadi tidak boleh jika orang yang menyebutkan julukan tersebut bermaksud mencela. Akan tetapi lebih baik jika bisa menjelaskan orang yang dimaksudkan tanpa menyebutkan julukan tersebut.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – انْصَرَفَ مِنَ اثْنَتَيْنِ ، فَقَالَ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ أَقَصُرَتِ الصَّلاَةُ أَمْ نَسِيتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ » . فَقَالَ النَّاسُ نَعَمْ . فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَصَلَّى اثْنَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ، ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ .

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah mengucapkan salam padahal beliau baru mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat. Maka seorang yang memiliki julukan Dzul Yadaini berkata kepada Nabi, “Apakah shalat dikerjakan secara qashar ataukah engkau lupa wahai Rasulullah?” Rasulullah lantas berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Apakah benar apa yang dikatakan oleh Dzul Yadaini?” Para shahabat berkata, “Benar”. Rasulullah lantas bangkit dan shalat sebanyak dua rakaat kemudian mengucapkan salam kemudian bersujud sebagaimana sujud yang biasa beliau kerjakan atau lebih lama lagi (HR Bukhari no 682).

Dzul Yadaini adalah julukan bagi seorang shahabat yang memiliki ukuran tangan yang tidak normal. Hadits di atas adalah dalil tegas menunjukkan bolehnya memanggil seseorang dengan nama panggilannya yang dikaitkan dengan kelainan fisik yang dia miliki.


B. PENJELASAN TENTANG NAMIMAH

Secara etimologi, dalam bahasa Arab, namimah bermakna suara pelan atau gerakan.

Secara istilah pada dasarnya namimah adalah menceritakan perkataan seseorang kepada orang yang menjadi bahan pembicaraan. Namun bentuk namimah tidak harus seperti itu. Tolak ukur namimah adalah setiap pembeberan perkara yang tidak disukai untuk diungkapkan, baik yang tidak suka itu orang yang menjadi sumber berita atau orang yang diberi tahu atau yang lain, baik isi berita berupa ucapan ataupun perbuatan, baik isi pembicaraan itu sebuah aib ataukah bukan.

قَالَ الْعُلَمَاء : النَّمِيمَة نَقْل كَلَامِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ إِلَى بَعْضٍ عَلَى جِهَةِ الْإِفْسَادِ بَيْنهمْ .

Sedangkan an Nawawi mengatakan bahwa para ulama mendefinisikan namimah dengan menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan di antara mereka (Syarh Nawawi untuk Shahih Muslim 1/214, Syamilah).

Keharaman Namimah

Namimah adalah suatu yang diharamkan berdasarkan al Qur’an, sunnah dan kesepakatan seluruh umat Islam.

Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تُطِعْ كُلََّلَّافٍ مَهِينٍ (1 هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِ مِيمٍ (1 مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa” (QS al Qalam:10-12).

عَنْ هَمَّامٍ قَالَ كُنَّا مَعَ حُذَيْفَةَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ رَجُلاً يَرْفَعُ الْحَدِيثَ إِلَى عُثْمَانَ . فَقَالَ حُذَيْفَةُ سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ »

Dari Hammam, Kami sedang duduk-duduk bersama Hudzaifah lalu ada yang berkata kepada Hudzaifah, “Sungguh ada orang yang melaporkan perkataan orang lain kepada Khalifah Utsman”. Hudzaifah lantas berkata, aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Qattat itu tidak akan masuk surga” (HR Bukhari no 5709 dan Muslim no 304).
عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَجُلاً يَنِمُّ الْحَدِيثَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ ».

Dari Hudzaifah, beliau mendapatkan laporan tentang adanya seseorang yang suka melakukan namimah maka beliau mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda, “Nammam (orang yang melakukan namimah) itu tidak akan masuk surga” (HR Muslim no 303).

Namam adalah orang yang mendengar langsung sebuah berita kemudian menyampaikannya. Sedangkan qattat adalah orang yang mendengar berita dari sumber yang tidak jelas kemudian menyampaikannya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ إِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ مَا الْعَضْهُ هِىَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ ».

Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Muhammad berkata, “Maukah kuberitahukan kepada kalian apa itu al’adhhu? Itulah namimah, perbuatan menyebarkan berita untuk merusak hubungan di antara sesama manusia” (HR Muslim no 6802).

Ibnu Abdil Barr menyebutan dari Yahya bin Abi Katsir bahwa beliau mengatakan,

“Tukang mengadu domba dan tukang bohong dalam waktu sesaat itu bisa merusak masyarakat yang jika dilakukan tukang sihir memerlukan waktu setahun”.

Abul Khattab dalam ‘Uyun al Masail mengatakan,

“Termasuk sihir adalah melakukan namimah dan merusak hubungan di antara manusia” [Fathul Majid Syarh Kitab at Tauhid hal 350, terbitan Dar al Fikr Beirut].

Namimah termasuk sihir karena memiliki kesamaan dalam hal mampu memecah belah manusia, merubah hati dua orang yang semula saling mencintai dan juga dalam kemampuan menimbulkan kejahatan.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِى قُبُورِهِمَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ » ، ثُمَّ قَالَ « بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ » .

Dari Ibnu Abbas, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah kebun di Madinah atau Mekah beliau mendengar suara dua orang yang sedang disiksa dalam kuburnya. Nabi bersabda, “Keduanya sedang disiksa dan tidaklah keduanya disiksa karena masalah yang sulit untuk ditinggalkan”. Kemudian beliau kembali bersabda, “Memang masalah mereka adalah dosa besar. Orang yang pertama tidak menjaga diri dari percikan air kencingnya sendiri. Sedangkan orang kedua suka melakukan namimah” (HR Bukhari no 213)

Setiap orang yang diadu domba dengan ada orang yang mengatakan kepada dirinya, “Si A telah mencelamu atau telah melakukan demikian dan demikian untuk menyakitimu” itu memiliki kewajiban untuk melakukan enam hal berikut ini.

1. Tidak langsung menerima ucapan orang itu karena tukang adu domba adalah orang fasik yang omongannya tidak boleh dipercaya.

2. Melarangnya melakukan perbuatan tersebut, memberikan nasehat dan mencela perbuatannya.

3. Membencinya karena Allah. Hal ini disebabkan dia adalah orang yang Allah benci. Sedangkan membenci orang yang Allah benci adalah suatu kewajiban.

4. Tidak berburuk sangka kepada sia A.

5. Tidak boleh memata-matai dan mencari-cari kebenaran berita yang baru saja dia terima.

6. Namimah yang dia dengar tidak boleh menyebabkannya membalas dengan namimah pula. Dia tidak rela dengan namimah yang dilakukan oleh tukang adu domba itu. Karenanya seharusnya dia tidak menceritakan namimah yang dilakukan oleh tukang adu domba tersebut. Misalnya dengan mengatakan, “Si B bercerita bahwa si A berkata demikian dan demikian”. Jika hal ini dia lakukan berarti dia juga menjadi tukang adu domba dan sama saja melakukan perkara yang dia larang sendiri.

Namimah yang diperbolehkan

Jika namimah dilakukan karena suatu keperluan maka hukumnya diperbolehkan.

Sebagai contoh ada orang yang memberitahu si B bahwa si A akan membunuhnya, salah satu anggota keluarga atau hendak merampas hartanya.

Contoh yang lain adalah orang yang melapor kepada pemerintah atau pihak yang berwenang dengan mengatakan bahwa ada seseorang yang telah melakukan suatu tindakan yang berbahaya dan menjadi kewajiban penguasa untuk menangani dan menumpasnya. Semua perkara ini hukumnya tidaklah haram. Begitu pula perkara-perkara serupa bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib atau sunnah tergantung situasi dan kondisi.

Penyampaian berita yang tercela adalah jika bertujuan untuk merusak hubungan. Sedangkan orang yang bermaksud baik dengan perkataan yang apa adanya dan berusaha untuk tidak menyakiti pihak manapun maka hukumnya tidaklah mengapa. Namun sedikit sekali orang yang memiliki kemampuan untuk bisa membedakan namimah yang dibolehkan dengan namimah yang terlarang. Oleh karena itu, jalan selamat bagi orang yang belum bisa membedaan dua hal ini adalah dengan diam.

Samakah Ghibah dan Namimah ?

Terdapat perbedaan pendapat tentang apakah ghibah (menggunjing) itu sama dengan namimah ataukah kedua istilah tersebut adalah dua hal yang berbeda. Pendapat yang paling kuat dua istilah tersebut berbeda. Di satu sisi, namimah itu lebih luas dibandingkan ghibah. Di sisi lain, ghibah itu lebih luas dari pada namimah. Namimah adalah menceritakan perkataan atau perbuatan A kepada B dengan tujuan merusak hubungan baik di antara kedua. Cerita ini diceritakan tanpa kerelaan A baik A tahu ataukah tidak tahu.

Sedangkan ghibah adalah menceritakan orang lain pada saat dia tidak ada mengenai hal-hal yang tidak dia sukai seandainya dicerita-ceritakan.

Ciri khas namimah adalah ada tujuan untuk merusak hubungan baik namun tidak disyaratkan orang yang menjadi objek pembicaraan tersebut tidak ada di tempat.

Ciri khas ghibah adalah objek yang dibicarakan tidak ada di tempat pembicaraan.

Selain hal di atas ghibah dengan namimah itu sama.

GHIBAH DAN NAMIMAH

LARANGAN GHIBAH & NAMIMAH DALAM ISLAM


 

 

 

 

 
A. PENJELASAN TENTANG GHIBAH

 

 

 

 

 
“Seluruh ulama bersepakat bahwa ghibah itu haram dilakukan oleh siapa pun untuk membicarakan siapa pun dari kaum muslimin. Hal ini dikarenakan terdapat larangan ghibah secara tegas dalam al Qur’an dan sunnah.

 

 

 
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

 

 

 
“Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS al Hujurat:12).

 

 

 
Dalam ayat ini terdapat larangan ghibah. Ghibah adalah membicarakan keburukan yang benar-benar ada pada orang lain. Jika keburukan tersebut tidak ada pada orang yang dibicarakan maka itulah yang disebut dengan buhtan.

 

 

 
Larangan ghibah dalam ayat di atas diiringi dengan penggambaran yang membuat kita semakin merasa ngeri dan menganggap ghibah sebagai hal yang sangat-sangat menjijikan. Hal ini dikarenakan bahaya besar yang terdapat dalam ghibah.

 

 

 
Memakan daging manusia adalah suatu hal yang sangat menjijikkan bagi manusia yang masih normal meski daging tersebut adalah daging orang kafir dan musuh yang sangat dibenci. Bagaimana lagi jika daging tersebut adalah bangkai saudara kita sendiri seagama…! Tentu kita akan sangat jijik dan tidak suka.

 

 

 
Bagaimana lagi jika daging manusia tersebut adalah daging yang sudah menjadi bangkai. Wong daging yang enak dan halal saja akan menjadi sangat menjijikkan jika daging tersebut berupa bangkai.

 

 

 
Uraian di atas menunjukkan bahwa ayat di atas mengandung unsur hiperbola yang sangat luar biasa untuk melarang ghibah setelah terdapat larangan ghibah secara tegas di awal ayat.

 

 

 
Di antara kandungan ayat di atas, bahwa pengertian ghibah adalah membicarakan kekurangan orang lain tanpa sepengetahuannya. Oleh karena itu, objek ghibah diserupakan dengan bangkai karena dia tidak bisa membela diri atau mencegah terjadinya hal tersebut pada dirinya. Sisi kesamaan yang kedua antara objek ghibah dengan bangkai adalah orang yang sudah mati tidak tahu kalau dagingnya dimakan orang. Demikian pula objek ghibah tidak mengetahui adanya orang yang menggunjingnya” (Bahjah an Nazhirin Syarh Riyadh Shalihin karya Salim al Hilali 3/6).

 

 

 
Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa kehormatan seseorang bagaikan daging dan darahnya sendiri karena hati seseorang itu akan merasa tersakiti jika kehormatannya dinodai sebagaimana badan seseorang itu merasa sakit jika dagingnya dipotong-potong. Jika tidak pantas bagi orang yang berakal untuk memakan daging orang maka menodai kehormatan seseorang tentu lebih tidak pantas lagi (Hasyiah Showi ala al Jalalain 4/145, cetakan Dar al Fikr).

 
Tentang ayat di atas Ibnu Abbas mengatakan, “Allah mengharamkan seorang mukmin menggunjing mukmin yang lain sebagaimana Allah mengharamkan memakan bangkai”(Diriwayatkan oleh Thabari, hasan. Lihat at Tafsir al Muhtashar al Shahih hal 550, cetakan Dar al Ma-atsir).

 

 

 
Qotadah berkata, “Sebagaimana engkau ketika menjumpai bangkai yang dipenuhi banyak belatung engkau tidak suka memakannya maka demikian pula hendaknya engkau tidak suka untuk menggunjingnya ketika dia masih hidup” (Diriwayatkan oleh Thabari, hasan. Lihat at Tafsir al Muhtashar al Shahih hal 550, cetakan Dar al Ma-atsir).

 

 

 
Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Kita semua berkewajiban untuk tidak membicarakan keburukan orang lain, baik keburukan itu benar-benar ada pada dirinya atau pun tidak. Hendaknya kita camkan bahwa jika kita sebarkan keburukan saudara kita, sesama muslim maka pasti Allah akan mengirimkan orang yang akan menyebarkan keburukan kita, sebagai balasan yang setimpal. Jangan kita kira Allah lalai dengan perbuatan orang-orang yang zalim.

 

 

 
Akan tetapi bila ghibah tersebut dilakukan karena suatu kebutuhan, maka tidak mengapa dan tidak dosa. Oleh sebab itu ketika Fathimah binti Qois menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta saran beliau terkait dengan tiga orang laki-laki yang melamarnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjelaskan kekurangan orang yang dirasa memiliki kekurangan. Fathimah binti Qois dilamar oleh tiga orang, Muawiyah bin Abu Sufyan, Abu Jahm bin Harits dan Usamah bin Zaid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Muawiyah itu orang yang tidak punya apa-apa. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul istrinya. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid” (HR Muslim). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan kekurangan dua orang tersebut karena menginginkan kebaikan bagi Fathimah binti Qois dan menjelasan keadaan yang ada sebagaimana apa adanya.

 

 

 
Demikian pula bila tujuan ghibah yang dilakukan adalah mengadukan tindakan orang yang menzhalimi kita. Ghibah semacam ini hukumnya boleh. Misalnya ada orang yang menzalimi kita lalu kita laporankan kejadian tersebut kepada orang yang bisa membantu kita. Kita sampaikan kepadanya, “A merampas uangku” atau “B mengingkari bahwa dia memiliki hutang denganku”. Kalimat semacam itu diperbolehkan. Dalilnya adalah Hindun binti Utbah datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaporkan suaminya, Abu Sufyan. Hindun mengatakan bahwa Abu Sufyan adalah orang yang pelit sehingga tidak memberi uang nafkah yang cukup baginya dan anak-anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu secukupnya” (HR Bukhari dan Muslim).

 

 

 
Dalam hal ini Hindun menyebutkan sifat suaminya yang Abu Sufyan tidak suka jika dicerita-ceritakan. Akan tetapi ini dibolehkan dalam rangka mengadukan kezaliman.

 

 

 
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

 

 

 
Yang artinya, “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS an Nisa:148).

 

 

 
Artinya orang yang dizalimi diperbolehkan untuk mengucapkan ucapan buruk dengan suara keras agar bisa menghilangkan kezaliman yang menimpanya.

 

 

 
Namun apa ucapan semacam ini diperbolehkan jika maksud seseorang adalah mengiringkan kejengkelan hatinya terhadap orang yang menzaliminya? Dia ceritakan apa yang terjadi kepada temannya dan orang tersebut tahu bahwa temannya itu tidak bisa menghilangkan kezaliman yang menimpanya namun hatinya bisa terasa plong karenanya.

 

 

 
Pendapat yang paling kuat, hal tersebut dibolehkan mengingat ayat di atas, QS an Nisa:48, bersifat umum. Hal ini juga sering kita jumpai.

 

 

 
Sering kali ketika orang tersakiti karena hartanya dirampas orang atau mengingari haknya maka dia bercerita kepada temannya dengan tujuan meringankan kejengkelan hatinya. Demikian pula dia ceritakan masalahnya kepada anak-anaknya, istri, keluarga dan lainnya. Tindakan ini hukumnya tidaklah mengapa. Karena bagi orang yang terzalimi, orang yang menzaliminya itu tidaklah memiliki kehormatan” (Tafsir Surat al Hujurat sampai al Hadid hal 52-54, cetakan Dar Tsuraya).

 

 

 
Bagi kebanyakan kaum wanita ibu-ibu ataupun remaja putri bergunjing membicarakan aib cacat atau cela yg ada pada orang lain bukanlah perkara yg besar. Bahkan di mata mereka terbilang remeh ringan dan begitu gampang meluncur dari lisan. Seolah-olah obrolan tdk asyik bila tdk membicarakan kekurangan orang lain. “Si Fulanah begini dan begitu”. “Si ‘Alanah orang suka ini dan itu”.

 
Ketika asyik membicarakan kekurangan orang lain seakan lupa dgn diri sendiri. Seolah diri sendiri sempurna tiada cacat dan cela. Ibarat kata pepatah “Kuman di seberang lautan tampak gajah di pelupuk mata tiada tampak.”

 
Perbuatan seperti ini selain tdk pantas/tak baik menurut perasaan dan akal sehat kita ternyata syariat yg mulia pun mengharamkan bahkan menekankan utk melakukan yg sebalik yaitu menutup dan merahasiakan aib orang lain.

 
Ketahuilah wahai saudariku siapa yg suka menceritakan kekurangan dan kesalahan orang lain mk diri pun tdk aman utk diceritakan oleh orang lain. Seorang ulama salaf berkata “Aku mendapati orang-orang yg tdk memiliki cacat/cela lalu mereka membicarakan aib manusia mk manusia pun menceritakan aib-aib mereka. Aku dapati pula orang-orang yg memiliki aib namun mereka menahan diri dari membicarakan aib manusia yg lain maka manusia pun melupakan aib mereka.” (Jami’ul Ulum Wal Hikam).

 

 

 
Tahukah engkau bahwa manusia itu terbagi dua:

 

 

 
Pertama: Seseorang yg tertutup keadaan tdk pernah sedikitpun diketahui berbuat maksiat. Bila orang seperti ini tergelincir dlm kesalahan mk tdk boleh menyingkap dan menceritakan krn hal itu termasuk ghibah yg diharamkan. Perbuatan demikian juga berarti menyebarkan kejelekan di kalangan orang2 yg beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

 

 
إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

 

 

 
“Sesungguh orang-orang yg menyenangi tersebar perbuatan keji ( Baik seseorang yg disebarkan kejelekan itu benar-benar terjatuh dlm perbuatan tersebut ataupun sekedar tuduhan yg tdk benar) di kalangan orang-orang beriman mereka memperoleh azab yg pedih di dunia dan di akhirat.”

 

 

 
Kedua: Seorang yg terkenal suka berbuat maksiat dengan terang-terangan tanpa malu-malu tdk peduli dgn pandangan dan ucapan orang lain. maka membicarakan orang seperti ini bukanlah ghibah. Bahkan harus diterangkan keadaan kepada manusia hingga mereka berhati-hati dari kejelekannya. Karena bila orang seperti ini ditutup-tutupi kejelekan dia akan semakin bernafsu utk berbuat kerusakan melakukan keharaman dan membuat orang lain berani utk mengikuti perbuatannya. (Jami’ul Ulum Wal Hikam Syarhul Arba’in Ibnu Daqiqil Ied Qawa’id wa Fawa`id minal Arba’in An-Nawawiyyah ).

 

 

 
Dalam Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan:

 

 

 
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ ..

 

 

 
“Siapa yg melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yg sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan dari satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yg memudahkan orang yg sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkan di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yg menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aib di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya.”

 

 

 
Bila demikian engkau telah tahu keutamaan orang yg suka menutup aib saudara sesama muslim yg memang menjaga kehormatan diri tdk dikenal suka berbuat maksiat namun sebalik di tengah manusia ia dikenal sebagai orang baik-baik dan terhormat. Siapa yg menutup aib seorang muslim yg demikian keadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup aib di dunia dan kelak di akhirat.

 

 

 
Namun bila di sana ada kemaslahatan atau kebaikan yg hendak dituju dan bila menutup akan menambah kejelekan mk tdk apa-apa bahkan wajib menyampaikan perbuatan jelek/aib/cela yg dilakukan seseorang kepada orang lain yg bisa memberi hukuman. Jika ia seorang istri mk disampaikan kepada suaminya. Jika ia seorang anak mk disampaikan kepada ayahnya. Jika ia seorang guru di sebuah sekolah mk disampaikan kepada mudir- . Demikian seterusnya. (Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin).

 

 

 
Yang perlu diingat wahai saudariku diri kita ini penuh dgn kekurangan aib cacat dan cela. mk sibukkan diri ini utk memeriksa dan menghitung aib sendiri niscaya hal itu sudah menghabiskan waktu tanpa sempat memikirkan dan mencari tahu aib orang lain. Lagi pula orang yg suka mencari-cari kesalahan orang lain utk dikupas dan dibicarakan di hadapan manusia Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas dgn membongkar aib walaupun ia berada di dlm rumahnya. Sebagaimana disebutkan dlm hadits Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

 

 

 
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَوْرَاتِهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

 

 

 
“Wahai sekalian orang yg beriman dgn lisan dan iman itu belum masuk ke dlm hatinya (Yakni lisan menyatakan keimanan namun iman itu belum menancap di dlm hatinya).

 

 

 

 

 
Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin dan jangan mencari-cari/mengintai aurat mereka. (Yang dimaksud dgn aurat di sini adalah aib/cacat atau cela dan kejelekan. Dilarang mencari-cari kejelekan seorang muslim utk kemudian diungkapkan kepada manusia).

 

 

 
Karena orang yg suka mencari-cari aurat kaum muslimin Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yg dicari-cari aurat oleh Allah niscaya Allah akan membongkar di dlm rumah .”

 

 

 
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan hadits yg sama ia berkata “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar lalu menyeru dgn suara yg tinggi:

 

 

 
يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ اْلإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لاَ تُؤْذُو الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تُعَيِّرُوْهُمْ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ، يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ

 

 

 
“Wahai sekalian orang yg mengaku berislam dgn lisan dan iman itu belum sampai ke dlm hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin janganlah menjelekkan mereka jangan mencari-cari aurat mereka. Karena orang yg suka mencari-cari aurat saudara sesema muslim Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yg dicari-cari aurat oleh Allah niscaya Allah akan membongkar walau ia berada di tengah tempat tinggalnya.”

 

 

 
Dari hadits di atas tergambar pada kita betapa besar kehormatan seorang muslim. Sampai-sampai ketika suatu hari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memandang ke Ka’bah ia berkata:

 

 

 
مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمَ حُرْمَةً عِنْدَ اللهِ مِنْكِ

 

 

 
“Alangkah agung engkau dan besar kehormatanmu. Namun seorang mukmin lbh besar lagi kehormatan di sisi Allah darimu.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2032)

 

 

 
Karena itu saudariku Tutuplah cela yg ada pada dirimu dgn menutup cela yg ada pada saudaramu yg memang pantas ditutup. Dengan engkau menutup cela saudaramu Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup celamu di dunia dan kelak di akhirat. Siapa yg Allah Subhanahu wa Ta’ala tutup cela di dunia di hari akhir nanti Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan menutup cela sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

 

 
لاَ يَسْتُرُ اللهُ عَلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

 

 

 
“Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya.”

 
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

 

 

 
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Tentang ditutup aib si hamba di hari kiamat ada dua kemungkinan. Pertama: Allah akan menutup kemaksiatan dan aib dgn tdk mengumumkan kepada orang2 yg ada di mauqif . Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala tdk akan menghisab aib dan tdk menyebut aib tersebut.” Namun kata Al-Qadhi sisi yg pertama lbh nampak krn ada hadits lain.”

 
Hadits yg dimaksud adl hadits dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ia berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

 

 
إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوْبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ. فَيُعْطِي كِتَابَ حَسَنَاتِهِ ..

 

 

 
“Sesungguh Allah mendekatkan seorang mukmin lalu Allah meletakkan tabir dan menutupi si mukmin . Allah berfirman ‘Apakah engkau mengetahui dosa ini yg pernah kau lakukan? Apakah engkau tahu dosa itu yg dulu di dunia engkau kerjakan?’ Si mukmin menjawab: ‘Iya hamba tahu wahai Rabbku .’ Hingga ketika si mukmin ini telah mengakui dosa-dosa dan ia memandang diri akan binasa krn dosa-dosa tersebut Allah memberi kabar gembira padanya: ‘Ketika di dunia Aku menutupi dosa-dosamu ini dan pada hari ini Aku ampuni dosa-dosamu itu.’ Lalu diberikanlah pada catatan kebaikan-kebaikannya”

 

 

 

 

 
Ghibah yang di perbolehkan

 

 

 
Berdasarkan penjelasan Yahya bin Syaraf an-Nawawi ada enam jenis ghibah atau menggunjing yang diperbolehkan.

 

 

 
[Pertama]

 

 

 
Dalam kasus penganiayaan. Orang yang dianiaya boleh mengadukan orang yang menganiaya dirinya kepada pihak terkait. Semisal seorang melapor ke polisi, “Si A telah menganiayaku atau telah memukuliku”. Contoh yang lain adalah seorang santri yang dianiaya oleh temannya lalu melapor kepada pengurus pesantren.

 

 

 
[Kedua]

 

 

 
Meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dan menyadarkan pelaku kemaksiatan agar kembali ke jalan yang benar. Semisal kita katakan kepada orang yang diharapkan mampu mengingatkan, “Si A melakukan demikian tolong disadarkan”.

 

 

 
[Ketiga]

 

 

 
Meminta fatwa, dengan berkata kepada seorang ulama atau ustadz, “Si A, bapakku atau saudaraku telah menganiayaku…. Apakah dia berhak melakukan hal tersebut? Solusi apa yang bisa aku lakukan agar terhindar dari penganiayaannya?”.

 

 

 
Ucapan semacam ini diperbolehkan karena memang diperlukan. Akan tetapi, lebih baik jika menggunakan bahasa yang disamarkan. Semisal dengan mengatakan, “Bagaimana hukum seseorang atau seorang suami, orang tua atau anak yang berbuat demikian dan demikian?”.

 

 

 
Meski demikian diperkenankan pula menyebutkan identitas pelaku.

 

 

 
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ ، وَلَيْسَ يُعْطِينِى مَا يَكْفِينِى وَوَلَدِى ، إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهْوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ « خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ »

 

 

 
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no 5049).

 

 

 
[Keempat]

 

 

 
Guna memperingatkan kaum muslimin dari suatu bahaya. Contoh ghibah yang dibolehkan karena alasan ini adalah sebagai berikut:

 

 

 
a. Kritik terhadap para perawi hadits, para saksi dan para penulis buku. Hal ini diperbolehkan berdasarkan konsesus umat Islam. Bahkan hukumnya bisa wajib jika untuk mempertahankan keotentikan syariat.

 
b. Menceritakan kekurangan seseorang ketika kita dimintai pertimbangan sebelum melakukan urusan penting dengan orang tersebut.

 

 

 
عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ أَبِى الْجَهْمِ بْنِ صُخَيْرٍ الْعَدَوِىِّ قَالَ سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ تَقُولُ إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلاَثًا فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سُكْنَى وَلاَ نَفَقَةً قَالَتْ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِى ».

 
فَآذَنْتُهُ فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ وَأَبُو جَهْمٍ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ لاَ مَالَ لَهُ وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ ». فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا أُسَامَةُ أُسَامَةُ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « طَاعَةُ اللَّهِ وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ». قَالَتْ فَتَزَوَّجْتُهُ فَاغْتَبَطْتُ.

 

 

 
Dari Abi Bakr bin Abi Al Jahm bin Shukhair Al ‘Adawi, Aku mendengar Fathimah binti Qois bercerita bahwa suaminya sudah tiga kali mencerainya lalu Rasulullah menetapkan bahwa dia tidak berhak mendapatkan hak tempat tinggal dan nafkah dari bekas suaminya. Rasulullah berkata kepadaku, “Jika masa iddahmu telah berakhir, tolong beritahukan kepadaku!”. Setelah kukabarkan kepada Rasulullah ada tiga laki-laki yang meminangku yaitu Muawiyah, Abu Jahm dan Usamah bin Zaid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Muawiayah adalah seorang yang miskin, tidak berharta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul istrinya. Terimalah lamaran Usamah bin Zaid. Fathimah binti Qois mengibasan tangannya sambil berkata, “Usamah?! Usamah?!”. Rasul bersabda, “Taat kepada Allah dan rasulNya itu yang lebih baik bagimu”. Fathimah berkata, “Akhirnya aku menikah dengan Usamah dan aku merasa sangat beruntung” (HR Muslim no 3785).

 

 

 
c. Jika kita melihat seorang yang membeli barang yang cacat, seharusnya kita mengingatkan pembeli mengenai hal itu dengan maksud menghendaki kebaikan untuk orang lain, bukan untuk merugikan penjual atau mengacaukan transaksi jual beli.

 

 

 
d. Jika kita melihat ada orang yang bergaul akrab dengan orang fasik (orang yang gemar bermaksiat) atau menimba ilmu dari ahli bid’ah dan kita khawatir orang tersebut akan terpengaruh maka seharusnya kita menasehati orang tersebut dengan menjelaskan keadaan gurunya berdasarkan bukti dan fakta bukan prasangka dan praduga. Hal ini kita lakukan karena kita menginginkan kebaikan untuk orang tersebut dan bukan untuk menggunjing gurunya.

 

 

 
e. Apabila ada orang yang memegang jabatan tertentu namun dia tidak bisa menjalankannya sebagaimana mestinya karena tidak memiliki kapabilitas atau suka melanggar aturan agama. Selayaknya orang ini kita laporkan kepada atasannya untuk menjelaskan keadaan sebenarnya. Dengan demikian pihak atasan tidak tertipu laporan anak buahnya sehingga bisa mengarahkan anak buahnya untuk bekerja dengan baik.

 

 

 
[Kelima]

 

 

 
Orang yang terang-terangan melakukan berbagai dosa besar atau kebid’ahan. Dalam kasus seperti ini dibolehkan menceritakan kejelekan yang dia lakukan dengan terang-terangan, namun tidak diperkenankan menyebutkan kejelekan yang lain kecuali berdasarkan alasan yang bisa dibenarkan.

 

 

 
[Keenam]

 

 

 
Untuk memberi penjelasan. Jika ada seseorang yang terkenal dengan julukan tertentu seperti, “si buta, si pincang, si cebol dan semisalnya” maka dibolehkan menyebutkan julukan tersebut untuk memberi penjelasan tentang orang yang dimaksudkan. Namun hukum hal ini berubah menjadi tidak boleh jika orang yang menyebutkan julukan tersebut bermaksud mencela. Akan tetapi lebih baik jika bisa menjelaskan orang yang dimaksudkan tanpa menyebutkan julukan tersebut.

 

 

 
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – انْصَرَفَ مِنَ اثْنَتَيْنِ ، فَقَالَ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ أَقَصُرَتِ الصَّلاَةُ أَمْ نَسِيتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ » . فَقَالَ النَّاسُ نَعَمْ . فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَصَلَّى اثْنَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ، ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ .

 

 

 
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah mengucapkan salam padahal beliau baru mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat. Maka seorang yang memiliki julukan Dzul Yadaini berkata kepada Nabi, “Apakah shalat dikerjakan secara qashar ataukah engkau lupa wahai Rasulullah?” Rasulullah lantas berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Apakah benar apa yang dikatakan oleh Dzul Yadaini?” Para shahabat berkata, “Benar”. Rasulullah lantas bangkit dan shalat sebanyak dua rakaat kemudian mengucapkan salam kemudian bersujud sebagaimana sujud yang biasa beliau kerjakan atau lebih lama lagi (HR Bukhari no 682).

 

 

 
Dzul Yadaini adalah julukan bagi seorang shahabat yang memiliki ukuran tangan yang tidak normal. Hadits di atas adalah dalil tegas menunjukkan bolehnya memanggil seseorang dengan nama panggilannya yang dikaitkan dengan kelainan fisik yang dia miliki.

 

 

 

 

 
B. PENJELASAN TENTANG NAMIMAH

 

 

 
Secara etimologi, dalam bahasa Arab, namimah bermakna suara pelan atau gerakan.

 

 

 
Secara istilah pada dasarnya namimah adalah menceritakan perkataan seseorang kepada orang yang menjadi bahan pembicaraan. Namun bentuk namimah tidak harus seperti itu. Tolak ukur namimah adalah setiap pembeberan perkara yang tidak disukai untuk diungkapkan, baik yang tidak suka itu orang yang menjadi sumber berita atau orang yang diberi tahu atau yang lain, baik isi berita berupa ucapan ataupun perbuatan, baik isi pembicaraan itu sebuah aib ataukah bukan.

 
قَالَ الْعُلَمَاء : النَّمِيمَة نَقْل كَلَامِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ إِلَى بَعْضٍ عَلَى جِهَةِ الْإِفْسَادِ بَيْنهمْ .

 

Sedangkan an Nawawi mengatakan bahwa para ulama mendefinisikan namimah dengan menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan di antara mereka (Syarh Nawawi untuk Shahih Muslim 1/214, Syamilah).

 
Keharaman Namimah

 

Namimah adalah suatu yang diharamkan berdasarkan al Qur’an, sunnah dan kesepakatan seluruh umat Islam.

  
Allah Ta’ala berfirman,

  
وَلَا تُطِعْ كُلََّلَّافٍ مَهِينٍ  هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِ مِيمٍ  مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa” (QS al Qalam:10-12).

 
عَنْ هَمَّامٍ قَالَ كُنَّا مَعَ حُذَيْفَةَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ رَجُلاً يَرْفَعُ الْحَدِيثَ إِلَى عُثْمَانَ . فَقَالَ حُذَيْفَةُ سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ »

 
Dari Hammam, Kami sedang duduk-duduk bersama Hudzaifah lalu ada yang berkata kepada Hudzaifah, “Sungguh ada orang yang melaporkan perkataan orang lain kepada Khalifah Utsman”. Hudzaifah lantas berkata, aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Qattat itu tidak akan masuk surga” (HR Bukhari no 5709 dan Muslim no 304).

 
عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَجُلاً يَنِمُّ الْحَدِيثَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ ».

 
Dari Hudzaifah, beliau mendapatkan laporan tentang adanya seseorang yang suka melakukan namimah maka beliau mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda, “Nammam (orang yang melakukan namimah) itu tidak akan masuk surga” (HR Muslim no 303).

 
Namam adalah orang yang mendengar langsung sebuah berita kemudian menyampaikannya. Sedangkan qattat adalah orang yang mendengar berita dari sumber yang tidak jelas kemudian menyampaikannya.

 
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ إِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ مَا الْعَضْهُ هِىَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ ».

 
Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Muhammad berkata, “Maukah kuberitahukan kepada kalian apa itu al’adhhu? Itulah namimah, perbuatan menyebarkan berita untuk merusak hubungan di antara sesama manusia” (HR Muslim no 6802).

  
Ibnu Abdil Barr menyebutan dari Yahya bin Abi Katsir bahwa beliau mengatakan,

 
“Tukang mengadu domba dan tukang bohong dalam waktu sesaat itu bisa merusak masyarakat yang jika dilakukan tukang sihir memerlukan waktu setahun”.

 
Abul Khattab dalam ‘Uyun al Masail mengatakan,

 
“Termasuk sihir adalah melakukan namimah dan merusak hubungan di antara manusia” [Fathul Majid Syarh Kitab at Tauhid hal 350, terbitan Dar al Fikr Beirut].

 
Namimah termasuk sihir karena memiliki kesamaan dalam hal mampu memecah belah manusia, merubah hati dua orang yang semula saling mencintai dan juga dalam kemampuan menimbulkan kejahatan.

 
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِى قُبُورِهِمَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ » ، ثُمَّ قَالَ « بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ » .

 
Dari Ibnu Abbas, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah kebun di Madinah atau Mekah beliau mendengar suara dua orang yang sedang disiksa dalam kuburnya. Nabi bersabda, “Keduanya sedang disiksa dan tidaklah keduanya disiksa karena masalah yang sulit untuk ditinggalkan”. Kemudian beliau kembali bersabda, “Memang masalah mereka adalah dosa besar. Orang yang pertama tidak menjaga diri dari percikan air kencingnya sendiri. Sedangkan orang kedua suka melakukan namimah” (HR Bukhari no 213)

 
Setiap orang yang diadu domba dengan ada orang yang mengatakan kepada dirinya, “Si A telah mencelamu atau telah melakukan demikian dan demikian untuk menyakitimu” itu memiliki kewajiban untuk melakukan enam hal berikut ini.
  1. Tidak langsung menerima ucapan orang itu karena tukang adu domba adalah orang fasik yang omongannya tidak boleh dipercaya.
  2. Melarangnya melakukan perbuatan tersebut, memberikan nasehat dan mencela perbuatannya.
  3. Membencinya karena Allah. Hal ini disebabkan dia adalah orang yang Allah benci. Sedangkan membenci orang yang Allah benci adalah suatu kewajiban.
  4. Tidak berburuk sangka kepada sia A.
  5. Tidak boleh memata-matai dan mencari-cari kebenaran berita yang baru saja dia terima.
  6. Namimah yang dia dengar tidak boleh menyebabkannya membalas dengan namimah pula. Dia tidak rela dengan namimah yang dilakukan oleh tukang adu domba itu. Karenanya seharusnya dia tidak menceritakan namimah yang dilakukan oleh tukang adu domba tersebut. Misalnya dengan mengatakan, “Si B bercerita bahwa si A berkata demikian dan demikian”. Jika hal ini dia lakukan berarti dia juga menjadi tukang adu domba dan sama saja melakukan perkara yang dia larang sendiri.

 
Namimah yang diperbolehkan

 
Jika namimah dilakukan karena suatu keperluan maka hukumnya diperbolehkan.

 
Sebagai contoh ada orang yang memberitahu si B bahwa si A akan membunuhnya, salah satu anggota keluarga atau hendak merampas hartanya.

 
Contoh yang lain adalah orang yang melapor kepada pemerintah atau pihak yang berwenang dengan mengatakan bahwa ada seseorang yang telah melakukan suatu tindakan yang berbahaya dan menjadi kewajiban penguasa untuk menangani dan menumpasnya. Semua perkara ini hukumnya tidaklah haram. Begitu pula perkara-perkara serupa bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib atau sunnah tergantung situasi dan kondisi.

 
Penyampaian berita yang tercela adalah jika bertujuan untuk merusak hubungan. Sedangkan orang yang bermaksud baik dengan perkataan yang apa adanya dan berusaha untuk tidak menyakiti pihak manapun maka hukumnya tidaklah mengapa. Namun sedikit sekali orang yang memiliki kemampuan untuk bisa membedakan namimah yang dibolehkan dengan namimah yang terlarang. Oleh karena itu, jalan selamat bagi orang yang belum bisa membedaan dua hal ini adalah dengan diam.

 
Samakah Ghibah dan Namimah?

 
Terdapat perbedaan pendapat tentang apakah ghibah (menggunjing) itu sama dengan namimah ataukah kedua istilah tersebut adalah dua hal yang berbeda. Pendapat yang paling kuat dua istilah tersebut berbeda. Di satu sisi, namimah itu lebih luas dibandingkan ghibah. Di sisi lain, ghibah itu lebih luas dari pada namimah. Namimah adalah menceritakan perkataan atau perbuatan A kepada B dengan tujuan merusak hubungan baik di antara kedua. Cerita ini diceritakan tanpa kerelaan A baik A tahu ataukah tidak tahu.

 
Sedangkan ghibah adalah menceritakan orang lain pada saat dia tidak ada mengenai hal-hal yang tidak dia sukai seandainya dicerita-ceritakan.

 
Ciri khas namimah adalah ada tujuan untuk merusak hubungan baik namun tidak disyaratkan orang yang menjadi objek pembicaraan tersebut tidak ada di tempat.

 
Ciri khas ghibah adalah objek yang dibicarakan tidak ada di tempat pembicaraan.

 
Selain hal di atas ghibah dengan namimah itu sama.